LANDASAN
BIOLOGIS DAN NEUROLOGIS BAHASA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikolinguistik
Dosen Pengampu:
Dr. M. Jazeri, M.Pd
Disusun
Oleh:
Irfan Mubarok NIM.
Meilinda
Cahyaningrum NIM. 175415018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
PASCASARJANA IAIN
TULUNGAGUNG
Oktober 2016
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa memainkan peranan penting dalam
kehidupan. Bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa, termasuk
membedakan manusia dengan makhluk lain seperti binatang. Setiap bahasa yang ada
di dunia memiliki sebuah sistem yang dapat dianalisis secara internal dan
eksternal. Mengkaji bahasa secara internal berarti mengkaji struktur bahasa itu
sendiri. Kajian internal bahasa meliputi fonologi, morfologi, sintaksis,
paragraf, sampai konteks wacana. Adapun kajian bahasa secara eksternal berarti
menyangkut kajian yang menghhubungkan bahasa dengan faktor-faktor atau hal-hal
yang ada di luar bahasa, seperti faktor sosial, budaya, psikologi, seni dan
lain sebagainya. Kajian ini akan melahirkan sebuah disiplin baru seperti
sosiolinguistik, psikolinguistik dan neurolinguistik.[1]
Psikolinguistik
adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa dan perolehan bahasa oleh
manusia. Dari definisi ini terdapat dua aspek yang terkait psikolinguistik
yaitu perolehan yang menyangkut bagaimana seseorang terutama anak-anak belajar
bahasa dan kedua penggunaan yang artinya penggunaan bahasa oleh orang dewasa
normal.[2]
Di dalam psikolinguistik membahas landasan-landasan adanya bahasa baik dari
sisi biologi maupun neurologisnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
landasan biologis bahasa?
2. Bagaimanakah
landasan neurologis bahasa?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Landasan Biologis Bahasa
1.
Perkembangan Alat Ujar
Perkembangan alat ujaran (speech organs)
dari zaman purbanya akan tampak bahwa manusia memang mempunyai pertumbuhan
yang paling belakang dan sempurna.
Penelitian para ahli purbakala menunjukan bahwa kehidupan di dunia dimulai 3000
juta tahun yang lalu dalam bentuk organisme yang uniseluler. Tiga ratus lima
puluh juta tahun kemudian berkembanglah mahluk semacam ikan, yakni, Aghata,
yang tak berahang. Lima puluh juta tahun kemudian munculah mahluk pemula dari
amfibi. Mahluk ini mempunyai paru-paru dan laring, ini menunjukan telah
mulainya tumbuh jalur ujaran (vocal tracks) meskipun bunyi yang keluar barulah
desah pernafasan saja. Ketergantungan pada air menjadi lebih kecil dengan
tumbuhnya reptil.
Pada sekitar 70 juta tahun yang lalu munculah makluk
mamalia yang pertama. Evolusi lain yang penting adalah mulai adanya tulang
thyroid dan bentuk pertama dari selaput suara. Karena telah adanya paru-paru
dan selaput suara, maka getaran selaput ini dapat mulai di control. Alat
pendengaranpun mulai berkembang. Alat ujar yang sudah ada seperti ini membuat
mamalia (monyet,kambing,dsb) dapat mengeluarkan bunyi.
Perkembangan biologis lainnya yang
terkait adalah adanya perubahan perkembangan otot-otot pada muka, tumbuhnya
gigi, dan makin naiknya letak laring yang memungkinkan makhluk untuk untuk
bernafas sambil makan dan minum.
Perkembangan terakhir adalah pada primat
pada manusia. Alat-alat penyuara seperti paru-paru, laring, faring, dan mulut
pada dasarnya sama dengan yang ada pada mamalia lainnya, hanya saja pada
manusia alat-alat ini telah lebih berkembang. Struktur mulut maupun macam
lidahnya juga berbeda. Akan tetapi, perbedaan lain yang lebih penting antara
manusia dengan binatang adalah struktur dan organisasi otaknya.[3]
2.
Struktur Mulut Manusia vs Binatang
Kelompok manusia yang dinamakan hominids
atau hominidae, itu sendiri juja berevolusi. Konon yang tertua
(Australopithecus ramidus) di temukan di akfrika dan hidup pada 4.5 juta tahun
yang lalu. Sementara itu muncul kelompok mausia (homo) pada 3 juta tahun yang
lalu yang baru menjadi manusia modern (homo sapiens) sekitar 175.000 tahun yang lalu. Pertumbuhan bahasa
di perkirakan sekitar 100.000 tahun yang lalu.
Meskipun ada kemiripan antara manusia
dengan simpanse, tetap saja kedua mahluk ini berbeda yang membedakan keduanya adalah kemampuan
mereka berkomunikasi dengan bahasa. Perbedaan kemampuan ini sifat genetik,
artinya manusia dapat berbahasa sedangkan primat lain tidak karena komposisi
genetik antara kedua kelompok primat ini berbeda. Hal ini sangat tampak pada
struktur biologis alat suaranya.
Pada primat non-manusia simpanse lidah
mempunyai ukuran yang tipis dan panjang tetapi semuanya ada dalam rongga mulut.
Bentuk yang seperti ini lebih cocok sebagai alat untuk kebutuhan yang non vocal
seperti meraba,menjilat dan menelang mangsa. Secara komporatif, ratio lidah
dengan ukuran mulut juga sempit sehingga tidak banyak ruang untuk menggerakan
lidah keatas,ke bawah,ke depan dan kebelakang. Ruang gerak yang sangat terbatas
ini tidak memungkinkan binatang untuk memodifikasi arus udara menjadi bunyi
yang berbeda-beda dan distingtif.
Berbeda dengan manusia, Secara
proposional rongga mulut manusia adalah kecil. Ukuran ini membuat manusia dapat
lebih mudah mengaturnya. Lidah manusia secara proposional lebih tebal dari pada
lidah binatang dan menjorok sedikit ke tenggorokan memungkinkan untuk di
gerakan secara fleksibel sehingga bisa di naikkan,di turunkan, dimajukan,
dimundurkan atau di ratakan di tengah. Sehingga dapat menghasilkan bunyi vocal
yang bermacam-macam. Gigi manusia yang
jaraknya rapat, tingginya rata, dan tidak miring kedepan membuat udara
yang leluar dari mulut lebih dapat di atur begitu pula bibir manusia lebih
dapat digerakan dengan fleksibel. Bibir atas yang bertemu dengan bibir bawah
akan menaghasialkan bunyi tertentu, tetapi bila bibir bawah agak ditarik
kebelakang dan menempel pada ujung gigi atas akan terciptalah bunyi lain.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari segi biologi alat pernafasan manusia
memang ditakdirkan untuk menjadi primat yang dapat berbicara.
- Sistem
Komunikasi Hewan
Pada binatang, terutama pada manusia,
kerja saraf yang bertingkat tinggi
adalah sumber berbagai reaksi yang berbentuk kelakuan, dan kerja saraf itu
erat sekali tergantung dari berita-berita (message).
Denyutan syaraf yang berasal dari panca
indera menggiatkan pusat; sesampai dipusat denyutan syaraf itu menimbulkan
jawaban-jawaban refleks; jawaban-jawaban itu diselaraskan dengan berita-berita
yang telah membangkitkannya. Diantara reaksi-reaksi ada yang alamai, artinya
binatang serta merta mewujudkan, tanpa dididik, berkat sifat-sifat system
syarafnya; sebaliknya ada reaksi binatang yang tidak begitu saja timbul dari
kemampuan kodratnya: reaks-reaksi itu dapat timbul berkat didikan dan kemahiran
yang diperoleh dari pengalaman, usaha dan kekeliruan dalam lingkungan hidup
yang selalu sama; dapat juga didikan dan kemahiran itu tergantung campur tangan
(intervensi ) aktip oleh individu-individu lain dari jenis yang sama, seperti
ayah induknya, atau dari jenis lain umpamanya manusia.
Binatang yang terkuasai oleh nalurinya
tidak memandang secara menyeluruh akan situasinya; ia mengadakan reaksi yang
selaras dengan rangsang yang diterima pada waktu itu ia tidak ambil pusing pada
rangsang lain yang diserap oleh panca indera. Dalam alam binatang ada banyak
cara berkomunikasi sebagai pengganti bahasa. Gerak-geriknya cukup mempunyai
arti dan dapat membuat keperluan-keperluan yang sederhana diketahui oleh mereka yang tidak kenal bahasanya.
Misalnya: burung, lebah, ikan lumba-lumba, dan simpanse.
- Kaitan
Biologi dengan Bahasa
Di samping struktur mulut manusia yang
secara biologis berbeda dengan sturktur mulut binatang, bahasa juga terkait
dengan biologi dari segi yang lain. Hal ini terutama tampak pada proses
pemerolehan bahasa.
Di manapun juga di dunia ini anak
memperoleh bahasa dengan melalui preoses yang sama. Antara umur 6-8 minggu,
anak mulai mendekut(cooing), yakni mereka mengeluarkan bunyi-bunyi yang
menyerupai bunyi vocal dan konsonan. Bunyi-bunyi ini belum dapat diidentifikasi
sebgai bunyi apa, tapi sudah merupakan
bunyi. Pada sekitar umur 6 bulan mulailah anak dengan coloteh(dabbling), yakni,
mengeluarkan bunyi yang merupakan suku kata. Pada umur sekitar 1 tahun, anak
mulai dapat mengeluarkan bunyi yang
dapat diidentifikasi sebagai kata. Untuk bahasa yang kebanyakan monomorfemik
(bersuku kata satu). Maka suku itu, atau sebagai dari suku, mulai diujarkan.
Untuk bahasa yang kebanyakan polimorfemik maka suku akhirlah yang diucapkan.
Kemudian anak akan mulai berujar dengan ujaran satu kata (one word utterance),
lalu menjelang umur 2 tahun mulailah dengan ujaran dua kata. Akhirnya, sekitar
umur4 atau 5 tahun anak dapat berkomuniaksi dengan lancar.
Patokan minggu, bulan, dan tahun seperti
dipaparkan diatas haruslah dianggap relative karena factor biologi pada manusia
itu tidak semua sama. Yang penting Dari patokan itu adalah urutan pemerolehan
pada anka itu sama: dari dekutan, kecelotehan, keujatan satu kata dan kemudian
kujaran dua kata, dan seterusnya.
Sejak kira-kira satu abad yang lalu,
sudah ada asumsi dasar bahwa ada kaitan langsung antara bahasa dan otak. Yang
selalu di cari jawabannya hingga sekarang ialah dimana pusat-pusat dalam otak
manusia untuk kemampuan dan perlakuan(kompentence dan performance), yang
disebut lokalisasi (localization). Seorang ahli bernama Dr. Paul Broca
mengatakan dengan mantap bahwa kemampuan berbicara kita berpusat pada otak
sebelah kiri.
Dengan fakta-fakta seperti dipaparakn
diatas maka pandangan masa kini mengenai bahasa menyatakan bahwa bahasa adalah
fenomena biologis, khususnya fenomena biologi perkembangan. Arah dana jadwal
munculnya suatu elemen dalam bahasa adalah masalah genetic. Orang tidak dapat
mempercepat atau memperlambat muculnya suatu elemen bahasa. Factor lingkungan
memang penting, tetapi faktor itu hanya memicu apa yang sudah ada pada biologi
manusia.
B. Landasan Neurologis Bahasa
Perkembangan bahasa manusia terkait
erat dengan perkembangan biologisnya. Pertumbuhan bahasa pada manusia mengikuti
jadwal perkembangan genetiknya sehingga munculnya suatu unsur bahasa tidak
dapat dipaksakan. Selain faktor biologis, faktor yang juga sangat penting dalam
penguasaan bahasa adalah faktor neurologis yang membahas tentang kaitan antara
otak manusia dengan bahasa. Neurologi mempunyai kaitan erat dengan bahasa
karena kemampuan manusia berbahasa ternyata bukan hanya karena lingkungan
tetapi karena kodrat neurologis yang dibawanya sejak lahir. Betapa besar
peranan otak kita di dalam pemerolehan, pemahaman dan pemakaian bahasa. Proses
bahasa itu dimulai dari enkode semantik, enkode gramatika, dan enkode fonologi,
lalu dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan diakhiri dengan
dekode semantik. Semua proses ini dikendalikan oleh otak yang merupakan alat
pengatur dan pengendali gerak semua aktifitas manusia tanpa otak dengan
fungsi-fungsinya yang kita miliki sekarang ini, mustahillah manusia dapat
berbahasa. Pada bahasan ini akan disajikan struktur dan organisasi otak manusia
untuk memberikan jawaban terhadap masalah pemerolehan, pemahaman,dan pemakaian
bahasa, serta akibat-akibat yang akan timbul bila ada gangguan pada otak.
1.
Evolusi Otak
manusia
Dalam perkembangannya manusia
tumbuh secara gradual dari suatu bentuk ke bentuk yang lain selama berjuta-juta
tahun. Salah satu pertumbuhan yang telah diteliti oleh para ahli palaeneurologi
telah menunjukkan evolusi otak manusia primata Austrolopithecus sampai
dengan manusia saat ini telah berlangsung sekitar 3 juta tahun. Hal ini tampak
paling tidak pada ukuran otak yang telah membesar dari 400 miligram menjadi
1400 miligram pada kurun waktu antara 3-4 juta tahun lalu. Dari munculnya Homo
Erectus sampai dengan adanya Homo Sapiens pada sekitar 1,7 juta
tahun yang lalu, ukuran otak manusia telah mengalami perkembangan hampir dua
kali lipat, dari 800 miligram menuju 1500 miligram. Meskipun ukuran ini itu
sendiri bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur perubahan fungsi, paling
tidak ukuran ini memungkinkan akan adanya fungsi yang bertambah.[4]
Selanjutnya perkembangan otak
manusia dapat dibagi menjadi empat fase.
Fase pertama adalah perkembagan ukuran. Fase ini tampak pada Homo Erectus
yang ditemukan di Jawa serta yang ditemukan di China. Fase kedua adalah adanya
perubahan reorganisasi pada otak tersebut. Lembah-lembah pada otak ada yang
bergeser sehingga memperluas daerah lain seperti daerah yang dinamakan
parietal. Perubahan ini terjadi pada masa Praaustrolopithecus ke Austrolopithecus
afarensi. Perubahan ketiga adalah munculnya sistem fiber yang berbeda-beda pada
daerah tertentu melalui Corpus Callosum. Fiber-fiber ini dapat
diibaratkan sebagai kabel listrik yang memberikan lairan-aliran elektrik untuk
mengerakkan atau melakukan sesuatu. Perkembangan keempat adalah munculnya dua
hemisfer yang asimetris, yakni hemisfer kanan yang mengatur motorik sisi kiri
tubuh serta berperan dalam emosi dan kemampuan, dan hemisfer kiri yang mengatur
motorik sisi kanan tubuh. Dua fase terakhir ini terjadi pada saat perubahan
dari Homo Erectus ke Homo Sapiens.[5]
Berdasarkan gambaran singkat
tersebut, tampak jelas bahwa otak manusia telah mengalami evolusi dari yang
paling sederhana ke yang paling rumit seperti pada otak manusia saat ini.
2.
Neurolinguistik
Pada awalnya hubungan antara bahasa
dan otak ditengarai dari adanya kerusakan pada otak yang mempengaruhi kemampuan
berbahasa. Hal ini dikemukakan oleh Edwin Smith, ilmuwan Amerika, yang
menemukan lembar papirus pada tahun 1862 yang menyebutkan adanya 48 kasus yang
terjadi pada tahun 3000 SM. Kasus ke-22 menjelaskan tentang kerusakan otak
akibat cedera kepala yang mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Inilah yang
pada akhirnya disebut aphasia dan dysathria. Istilah terakhir
mengacu kepada ketidakmampuan mengartikulasikan ucapan akibat gangguan
neuromotor berbicara.[6]
Perihal bagaimana otak manusia
menghasilkan dan memproses bahasa dikaji dalam neurolinguistik sebagai
perkembangan dari psikolinguistik. Dalam hal ini yang perlu diangkat bukanlah
perbedaan pengaruh otak kanan dan otak kiri pada perilaku manusia, melainkan
bagaimana secara anatomis hemisfer kanan dan kiri bekerjasama dalam mengolah
informasi kebahasaan. Inilah yang menjadi fungsi utama Corpus Callosum
yang menjadi panel penghubung kedua sisi hemisfer.[7]
Untuk komunikasi linguistik pada
bagian cortex otak dikenal dua area yang dinamakan area Broca dan
Wernicke. Paul Broca, ilmuwan Prancis, yang juga sebagai penemu istilah
aphasia, menganggap hilangnya kemampuan berbicara atau berbahasa akibat cidera
otak, menamai area dasar motor cortex yang mempengaruhi kefasihan
berbicara. Kerusakan pada area Broca berakibat pada kemunduran kemampuan baca
tulis, keraguan berbicara dan bahkan pada beberapa kasus muncul gagap. Namun
demikian kemampuan memahami berbahasa tidak bermasalah. Apabila cidera otak
terjadi pada bagian belakang telinga, yaitu pada area Wernicke, akibatnnya akan
berbeda. Karl Wernicke, penerus Broca yang berasal dari Austria, meneliti
dampak cidera pada sensory cortex. Penderitanya akan mengalami kesulitan
dalam mengolah masukan linguistik meskipun secara umum kemampuan baca tulis
tidak terlalu berpengaruh. Penderita Wernicke’s aphasia lebih fasih daripada
penderita Broca’s aphasia, namun demikian cara bicaranya cenderung bergumam dan
tidak jelas ke arah mana pembicaraan yang dimaksudnya.[8]
Cidera pada otak berakibat fatal
terhadap perkembangan dan kemampuan berbahasa. Adanya kelainan dalam sistem
otak yang kompleks dipelajari dalam relasi neuropatologi dan gangguan
komunikasi. Selain itu, terdapat penyebab cidera otak selain kecelakaan yaitu
karena adanya penyakit cerebrovascular yang membunuh jaringan saraf dan
memotong aliran darah ke otak yang membutuhkan suplai glukosa dan oksigen.
Penyakit lainnya yaitu trauma, tumor dan hydrosephalus yang menggerogoti
jaringan saraf sehingga fungsinya terganggu. Penyakit lain seperti multiple
sclerosis mengikis lapisan myelin pada otak sehingga hubungan antar
saraf terganggu. Penyakit hutington dan parkinson juga muncul akibat
ketidaksingkronan hubungan antar saraf.
Selain itu, dalam neurolinguistik
telah dikaji bahwa kemampuan berbahasa sangat dipengaruhi oleh kemampuan otak
memproses informasi. Sebagaimana yang dibuktikan dalam beragam aphasia,
kemmapuan berbahasa lebih banyak dipengaruhi hemisfer kiri. Namun dari beberapa
bukti keberhasilan operasi otak ternayta dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berbahasa dan berbicara tidak mutlak terpusat pada satu area sisi otak. Pada
anak kecil, awalnya fungsi kebahasaan dikendalikan oleh kedua belah hemisfer. Dalam
perkembangannya kendali itu akan menyempit sehingga lebih cenderung
memaksimalkan fungsi kebahasaan dari salah satu hemisfer baik itu kanan maupun
kiri.
BAB
III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
[1]
Rohmani
Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik, Konsep dan Isu Umum,
(Malang:UIN Malang Press, 2008), hal. 2
[3] Soenjono
Darjowidjoyo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 189-191
[4] Indah, Psikolinguistik.,
hal. 60-61
[6] Indah, Psikolinguistik.,
hal. 61-62
[7] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar