LUDWIG WITTGENSTEIN II
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat Bahasa
Dosen Pengampu:
Dr. Muhamad Jazeri, M.Pd
Disusun Oleh:
Iklimatul Rohmah NIM.
Meilinda
Cahyaningrum NIM. 175415018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG
MEI 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aliran filsafat bahasa biasa merupakan aliran
yang hadir sesuadah aliran atomisme logis dan positivisme logis berjaya selama
kurang lebih tiga dasawarsa. Aliran ini lahir setelah para filosof menyadari
bahwa teknik analisis bahasa yang diarahkan kepada pencarian makna bahasa dapat
menggiring para filosof tersebut kepada penyataan yang tidak bermakna. Bagi
penganut aliran filsafat bahasa biasa, permasalahan utama yang lebih penting
daripada masalah makna adalah bagimana penggunaan suatu istilah atau ungkapan
dapat mengandung arti.
Tokoh yang dianggap sebagai perintis aliran
filsafat bahasa biasa adalah Wittgenstein. Setelah sukses besar dengan karya Tractacus-nya,
ia menyadari bahwa logika ternyata mengandung kelemahan, yaitu tidak mampu
menyentuh seluruh realitas yang tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu ia mengalihkan perhatian pada keanekaragaman bahasa biasa dan cara
penggunaannya.
Dalam periode kedua ini filsafatnya ini,
Wittgenstein lebih dekat kepada pemikiran Moore daripada Russel. Rintisan
pemikiran Wittgenstein tentang perlunya penelitian yang cermat terhadap
penggunaan bahasa bahasa ini segera disambut hangat oleh tokoh analitika bahasa
di Inggris. Tokoh analitika bahasa yang menaruh perhatian terhadap penggunaan
bahasa ini antara lain Ryle dan Austin.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimakah riwayat hidup
dari Ludwig Wittgenstein?
2.
Bagaimanakah pokok pikiran
dari Ludwig Wittgenstein II?
3.
Bagaimanakah implikasi
pandangan Wittgenstein II terhadap Postmodernisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Ludwig
Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein merupakan filosof yang
berasal dari Austria dan hidup antara tahun 1889-1951.[1] Ludwig Wittgenstein II merupakan tokoh bahasa yang sebelum tahun 1930 pemikirannya
berpijak pada atomisme logis Russel dan neopositivisme dari Lingkaran Wina. Pemikiran filsafatnya pada periode ini
terkandung dalam bukunya Tractatus, Logico Philosophicus yang telah
mempengaruhi banyak orang di berbagai Negara.[2]
Setelah beberapa tahun menetap di negeri
asalnya, sejak tahun 1929 filosof ini kembali mengajar di Cambridge,
pendapatnya mulai berubah dari apa yang telah diuraikan dalam bukunya Tractarus,
Wittgenstein I. Ia mulai meninggalkan atomisme logis dan positivisme logis.
Walaupun begitu, bahasa tetap menjadi perhatian Wittgenstein.
Pandangan-pandangan yang baru ia utarakan dalam bukunya Philosophical
Investigations, dan orang menyebutnya sebagai Wittgenstein II. Buku ini
terbit pada tahun 1953, dua tahun sesudah meninggalnya, tetapi sebagian besar
sudah selesai tahun 1945 dan sudah digunakan oleh murid-muridnya di Inggris.[3]
Pada periode Tractatus, Wittgenstein
berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang mempunyai arti, meaning
is picture, artinya bahasa akan berarti jika dipakai untuk menggambarkan
suatu keadaan faktual. Karena itulah, bahasa hanya dipakai untuk tujuan
menetapkan keadaan-keadaan faktual, states of affairs dan semua bahasa
dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna.
Dalam periode Philosopical Investigations
(Wittgenstein II), Wittgenstein menentang terhadap apa yang telah diuraikan
dalam Tractatus. Ia berpendapat bahwa arti suatu pernyataan sangat tergantung
pada pemakaian jenis bahasa tertentu, meaning is use. Hal ini karena
bahasa memiliki banyak fungsi. Sedangkan kata-kata bagaikan alat-alat, ia
dipakai dengan banyak cara. Oleh karena itu, kata Wittgenstein, perhatian harus
dialihkan dari bahasa logika ke pemakaian bahasa biasa. Dengan statement
seperti itu, Wittgenstein secara tidak langsung telah membuka jalan ke arah
filsafat baru yang berlainan dengan aliran atomisme logis dan positivisme
logis, yaitu dengan menitikberatkan pada penggunaan bahasa biasa (ordinary
language). Aliran ini selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan “The
Ordinary Language Philosophy” atau Filsafat Bahasa Biasa.[4]
B.
Pokok Pemikiran
Wittgenstein
Pada periode yang kedua ini, ada tiga pokok pemikiran
Wittgenstein yang tertuang dalam bukunya Philosopical Investigations. Pokok
pikiran tersebut meliputi tata permainan bahasa, kelemahan bahasa filsafat, dan
tugas filsafat. Berikut dijelaskna
masing-masing dari pemikiran tersebut.
1.
Tata Permainan Bahasa (Language
Game)
Sebagian besar isi dari kandungan buku Philosopical Investigations diarahkan untuk menjelaskan konsep mengenai
tata permainan bahasa. Tata permainan bahasa adalah proses menyeluruh
penggunaan kata, termasuk juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu
bentuk permainan. Konon istilah tata permainan bahasa timbul sebagai suatu
gagasan filsafat ketika pada suatu hari Wittgenstein melihat pertandingan sepak
bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya bahwa sesungguhnya dalam bahasa, kita
pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata.[5]
Gagasan mengenai penggunaan istilah tata
permainan bahasa tidak akan dapat terwujud dengan baik apabila Wittgenstein
tidak menghubungkannya dengan kenyataan yang terpampang jelas dihadapannya,
yaitu adanya keanekaragaman (pluriformitas) bahasa yang dijumpainya
dalam kehidupan sehari-hari. Keanekaragaman yang dimaksud oleh Wittgenstein
bukanlah berbagai macam bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa
Jerman dan semacamnya, dan bukan pula ragam bahasa ilmu pengetahuan seperti
bahasa sastra, bahasa kedokteran, bahasa filsafat dan sejenisnya, melainkan
keanekaragaman bahasa yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Wittgenstein pembicaraan mengenai
keanekaragaman tata permainan bahasa meliputi memberi perintah serta
mematuhinya, menggambarkan penampakan sesuatu objek ataupun menentukan
perkiraan tentang objek tersebut, menyusun sesuatu objek melalui pemerian,
melaporkan jalannya suatu peristiwa, menyusun dan menguji suatu hipotesa,
menyuguhkan hasil suatu percobaan dalam bentuk tabel dan diagram, mengarang
suatu cerita dan menceritakannya kepada orang lain, bermain komedi, menghayati
syair lagu, menjawab teka-teki, bersenda gurau dan membuat lelucon, memecahkan
persoalan hitungan yang praktis, mengalihbahasakan satu bahasa ke bahasa yang
lain, bertanya, berterimakasih, memaki mengucapkan salam, berdoa, dan lain
sebagainya. [6]
Setiap ragam permainan bahasa mengandung
aturan tertentu yang mencerminkan ciri khas dari corak permainan bahasa yang
bersangkutan. Oleh karena itu, perhatian ragam permainan bahasa disini
diarahkan untuk membandingkan keanekaragaman alat-alat dalam bahasa dan cara
penggunaannya, keanekaragaman itu meliputi jenis-jenis kata dan kalimat.
Sebagimana lazimnya dalam sebuah permainan,
orang yang terlibat dalam permainan tertentu haruslah mengetahui aturan yang
digariskan dalam permainan tersebut. Aturan itu dibutuhkan sebagai pedoman bagi
penyelenggaraan permainan itu secara baik, jelas, dan bertanggung jawab. Begitu
pula dengan tata permainan bahasa. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki
aturan sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan begitu saja dengan yang
lainnya. Aturan permainan bahasa dalam memberi perintah berbeda dengan aturan
permainan bahasa dalam bersenda-gurau. Masing-masing mengandung ketentuan yang
mencerminkan bentuk permainan bahasa yang bersangkutan. Kekacauan akan timbul
manakala kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk
permaian yang lain.[7]
Oleh karena itu mustahil dapat ditentukan
aturan umum yang dapat merangkum berbagai bentuk permainan bahasa. Wittgenstein
tampak menyangkal teorinya sendiri dalam periode pertama yang menganggap bahwa
kata atau kaliman mendapat maknanya dengan satu cara saja. Dalam periode
keduanya ini, Wittgenstein justru menganggap makna sebuah kata tergantung
penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat tergantung penggunaannya
dalam bahasa. Makna sebuah kata atau kalimatbaru bisa diketahui setelah mengetahui
ruang lingkup yang mana kata atau kalimat tersebut digunakan.[8]
Dalam kehidupan sehari-hari, biasa dijumpai
kata atau ungkapan yang sama yang dipergunakan dalam berbagai bentuk permainan
bahasa. Hal ini menurut Wittgenstein menunjukkan bahwa bisa saja bahasa itu
menghasilkan sesuatu yang bersifat umum. Akan tetapi fenomena yang diliput kata
atau ungkapan tersebut bukanlah dalam pengertian umum, sehingga dapat membuat
kita mempergunakan kata atau ungkapan yang sama untuk semua hal. Sebab
sesungguhnya kata atau ungkapan itu dihubungkan satu sama lain dalam banyak
cara yang berbeda.[9]
Contohnya dalam pemakaian kata “aku” dalam bahasa
Indonesia. Kata “aku” mengandung sesuatu yang bersifat umum, yaitu mengacu pada
diri si penutur pada situasi penggunaan yang manapun juga. Akan tetapi
penggunaan kata “aku” dalam lingkup pembicaraan dengan orang yang lebih tua
umurnya ataupun tingkatannya daripada si penutur, mempunyai pengertian yang
berbeda (menimbulkan kesan kurang sopan pada diri si penutur atau kurang hormat
terhadap pendengar yang lebih tua). Sedangkan penggunaan kata “aku” dalam
lingkup pembicaraan dengan teman sebaya atau kawan sepermainan mungkin tidak
mendatangkan kesan kurang sopan, bahkan justru lebih akrab. Jadi pembicaraan
dengan orang yang lebih tua merupakan bentuk permainan bahasa yang berbeda
dengan pembicaraan dengan teman sebaya atau kawan sepermainan. Inilah yang
dimaksudkan dengan pengertian “serupa tapi tak sama” dalam analogi “aneka
kemiripan keluarga”. Artinya, kata “aku” mempunyai sifat umum yang serupa yaitu
mengacu pada diri si penutur, tetapi makna kata “aku” tidak sama, tergantung
pada lingkup penggunaannya.[10]
2.
Kelemahan bahasa filsafat
Melalui konsep tentang tata permainan bahasa,
Wittgenstein bermaksud menunjukkan kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat. Penggunaan
istilah atau ungkapan yang telah membingungkan banyak orang disebabkan para
filsuf tidak mengikuti aturan permainan bahasa.[11]
Ada tiga hal yang ditunjukkan Wittgenstein
mengenai kelemahan bahasa yang telah digunakan dalam filsafat, yaitu 1) tidak
memperhatikan aturan permainan bahasa dalam kehidupan yang lebih luas dan
sesungguhnya; 2) adanya kecenderungan caving for generality, yaitu
kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan konkret
yang diletakkan di atas istilah yang umum; dan 3) sering melakukan penyamaran
pengertian melalui istilah-istilah yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan
orang seperti “eksistensi”, “substansi”, “esensi”, dan
sebagainya.[12]
Lebih lanjut Mustansyir menjelaskan terkait
kelemahan bahasa yang pertama bahwa penggunaan istilah atau ungkapan dalam
bahasa filsafat tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa. Hal ini
sebagaimana pernyataan Wittgenstein bahwa apabila filosof menggunakan kata atau
istilah seperti “Knowledge”, “Object”, “I”, “Proposition”, “Name”, dan kemudian
mencoba menjangkau hakikat sesuatu, maka seharusnya kita bertanya kepada diri
sendiri apakah kata atau istilah itu telah dipergunakan menurut tatacara
permainan bahasa dalam ruang lingkup yang sesungguhnya? Ternyata yang harus
diperbuat disini adalah menggiring kembali istilah itu daru wilayah metafisika
kepada penggunaan sehari-hari.[13]
3.
Tugas Filsafat
Kelemahan yang terdapat dalam bahasa filsafat
dapat diatasi bila mengetahui dan menerapkan tugas filsafat melalui analisis
bahasa. Ada dua aspek yang terkandung dalam analisis bahasa menurut
Wittgenstein II, yaitu aspek penyembuhan (therapeutics) dan cara
berfilsafat yang sebaiknya ditempuh (aspek metodis). Aspek penyembuhan yang
diajukan oleh Wittgenstein II pada hakikatnya serupa dengan pemikirannya pada
periode pertama, yaitu menghilangkan kekacauan yang terjadi dalam bahasa
filsafat. Perbedaannya hanya terletak pada cara yang dilakukan (aspek metodis)
untuk menghilangkan kekacauan tersebut.
Aspek metodis yang diperlihatkan Wittgenstein
II ini dalam kaitannya dengan tugas filsafat meliputi antara lain:[14]
a.
Bertitik-tolak pada
penggunaan bahasa sehari-hari, dengan meneliti dan membedakan aturan-aturan
dalam permainan bahasa. Dalam periode pertama Wittgenstein lebih bertitik-tolak
pada bahasa logika dalam upaya membentuk bahasa ideal (uniformitas bahasa)
bagi filsafat.
b.
Menunjukkan kepada lalat
jalan keluar dari sebuah botol lalat. Analogi ini dikenakan bagi para filsuf
yang mencoba menjelaskan realitas melalui penggunaan atau ungkapan yang
membingungkan sehingga mereka terjebak ke dalam pesona bahasa yang mengikat
pemikiran mereka sendiri. Keadaan itu diibaratkan dengan “lalat” yang terbang
dalam sebuah botol bening, tetapi merasa dirinya sudah terbang menjelajahi
dunia luar yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Wittgenstein mengatakan,
“seseorang yang terperangkap di dalam kekacauan filsafat, tak ubahnya seperti
seorang yang terjebak dalam sebuah ruangan, ia ingin keluar dari sana tapi
tidak tahu caranya. Dicobanya keluar lewat jendela, tapi itu terlalu tinggi,
dicobanya menerobos lewat sebuah lubang, tapi itu terlalu sempit”.
Jalan keluar yang ditawarkan Wittgenstein adalah “melalui
penampakan jalannya bahasa, yang bagaimanapun juga membuat kita mengakui jalan
itu walaupun timbul dorongan kesalah-fahaman. Persoalan filsafat itu dipecahkan
bukan melalui pengajuan keterangan baru, melainkan dengan menyusun kembali apa
yang telah kita ketahui.
c.
Analisis bahasa harus
berfungsi sebagai metode netral, dan tidak ikut memberikan penafsiran tentang
realitas. Filsafat itu tidak ikut campur-tangan dalam penggunaan bahasa yang
aktual. Pada akhirnya filsafat itu hanya memerikan atau memaparkan apa adanya. Sebab
filsafat tidak dapat memberikan dasar apa pun. Filsafat membiarkan segala
sesuatu sebagaimana adanya.
Berdasarkan pada tugas filsafat yang diajukan
oleh Wittgenstein seperti tersebut di atas, semakin jelas perubahan arah yang
cukup mendalam di antara kedua periode pemikirannya itu. Hal itu terutama jelas
tercermin dalam poin c, yang menetapkan filsafat sebagai metode netral. Ini
berarti, pandangan yang bersifat metafisik –upaya memperoleh pemahaman tentang
realitas- seperti yang tercermin dalam teori gambar (Wittgenstein 1), tidak
lagi mendapat tempat dalam periode yang kedua. Wittgenstein II tidak melibatkan
diri dalam corak pandangan yang bersifat metafisik. Situasi inilah yang
sesungguhnya membedakan antara konsep filsafat Wittgenstein I dengan konsep
filsafat Wittgenstein II.
Setelah melihat uraian mengenai “Language
Game”, jelaslah bahwa filsafat analitik mengalami perkembangan dan perubahan
orientasi, terutama pada Wittgenstein. Serta merta bersamaan dengan itu, aliran
filsafat analitik tidak lagi hanya berkembang di Universitas Cambridge, tapi
setelah periode Wittgenstein II berpusat di Oxfort. Orientasi filsafatnya sudah
berubah, dari menunjukkan bahasa bermakna (meaningfull) dan bahasa yang
tidak bermakna (meaningless) menjadi berorientasi kepada pemakaian
bahasa. [15]
C.
Implikasi pandangan
Wittgenstein terhadap Postmodernisme
Postmodernisme merupakan salah satu sikap atau
pandangann yang mengkritisi visi modernisme. Salah satu tokoh postmodernisme
yang cukup terkenal yaitu Jean Francois Lyotard karyanya yang berjudul The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, mendapat pengaruh pemikiran
Wittgenstein yang cukup kuat, terutama dalam pemakaian konsep Language Games
sebagai paradigma untuk menganalisis masyarakat industrial. Beberapa ide
pemikiran Wittgenstein yang terkandung dalam gagasan Lyotard antara lain:[16]
Pertama, Lyotard menolak sudut pandang tradisional yang
menekankan kesatuan, proses pascamodern mengarah pada pembebasan suatu
pluralitas bentuk-bentuk kehidupan, pengetahuan dan tindakan yang mandiri,
heteromorf, dan nonreduktif. Lyotard justru lebih berorientasi pada
instabilitas, paralogi, dan diskontunyuitas. Pluralitas merupakan salah satu
tema yang paling menonjol dalam pemikiran Wittgenstein II, yakni dalam
keanekaragaman tata permainan bahasa.
Kedua, Lyotard juga mengarahkan perhatian pada analisis atas kehidupan
sehari-hari, yang diisitilahkan dengan le quotidien, artinya analisis kehidupan
sehari-hari dipandang sebagai alternatif positif terhadap teori global. Aspek
pragmatika bahasa merupakan karakteristik pemikiran Wittgenstein II, terutama
dalam pernyataannya yang berbunyi: “The meaning of a word is its use in the
language. And the meaning of a name is sometimes explained by pointing its
bearer.” Atau penegasan yang dikemukakan Wittgenstein yang berbunyi: “Makna
sebuah kata terletak pada penggunaanya dalam bahasa, sedang makna bahasa
terletak pada penggunaannya dalam hidup sehari-hari.”
Ketiga, penerapan konsep Language Game untuk menjelaskan
berbagai fenomena kehidupan dunia industrial modern. Setiap bidang kehidupan
bergerak sesuai dengan aturan mainnya sendiri-sendiri, sebagaimana halnya cara
bergerak biji-biji catur di atas papan catur. Langkah bidak berbeda dari
langkah kuda, menteri, raja. Lebih lanjut Lyotard mengamati adanya tiga hal
penting yang menjadi prinsip dalam teorema permainan bahasa, yaitu: (1) bahwa
aturan-aturan tidak melegitimasi dirinya sendiri, melainkan merupakan objek
perjanjian, baik eksplisit maupun tidak, antara para pemain, (2) bahwa jika
tidak ada aturan, maka tidak ada permainan, bahkan suatu perubahan aturan tanpa
batas melanggar kodrat permainan, sebuah gerak atau tuturan tidak memuaskan dan
tidak termasuk ke dalam permainan yang dibatasi, (3) stiap tuturan haruslah
dipikirkan sebagai sebuah gerak dalam sebuah permainan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wittgenstein merupakan tokoh filsafat bahasa
yang mengalami perubahan aliran dari atomisme logis kepada filsafat bahasa
biasa. Ia mengalami perubahan haluan yang sangat signifikan tercermin dari dua
buku yang ditulisnya yaitu dari buku Tractatus, Logico Philosophicus kepada buku Philosopical Investigations.
Pada periode Tractatus, Wittgenstein
berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang mempunyai arti, meaning
is picture, artinya bahasa akan berarti jika dipakai untuk menggambarkan
suatu keadaan faktual. Karena itulah, bahasa hanya dipakai untuk tujuan
menetapkan keadaan-keadaan faktual, states of affairs dan semua bahasa
dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna.
Dalam periode Philosopical Investigations
(Wittgenstein II), Wittgenstein menentang terhadap apa yang telah diuraikan
dalam Tractatus. Ia berpendapat bahwa arti suatu pernyataan sangat
tergantung pada pemakaian jenis bahasa tertentu, meaning is use. Pada periode yang kedua ini, ada tiga pokok pemikiran Wittgenstein yang
diutarakannya terkait filsafat bahasa. Pokok pikiran tersebut meliputi
tata permainan bahasa, kelemahan bahasa filsafat, dan tugas filsafat.
B.
Saran
Makalah ini merupakan makalah yang membahas
tentang pemikiran dari Wittgenstein yang kedua. Dalam makalah ini penulis
menyadari akan kurangnya referensi buku. Maka diharapkan kepada pembaca maupun
penulis selanjutkan agar mencari referensi buku lainnya dan mengambangkan
makalah dengan judul sejenis.
DAFTAR PUSTAKA
Delfgaauw, Bernard. 2001. Filsafat Abad 20, terj.
Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat
Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mustansyir, Rizal. 2001. Filsafat Analitik:
Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), hlm. 127
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna
dan Tanda, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 72
[5] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan
Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 101-102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar