TOKOH-TOKOH LEKSIKOLOGI
ARAB
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Semantik dan Leksikologi
Dosen Pengampu:Dr.
Sokip, M.Pd.I
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA IAIN TULUNGAGUNG
DESEMBER 2015
BAB VII
TOKOH-TOKOH LESIKOLOGI ARAB
Kata kamus dalam bahasa Arab, disebut
dengan istilah Al-Mu’jam atau Al-Qamus. Sedangkan pengertian kamus menurut
Ahmad Abdul Ghafur Atthar , adalah sebuah buku yang memuat sejumlah besar kosakata bahasa yang
disertai penjelasannya dan interpretasi atau penafsiran
makna dari kosakata tersebut yang semua isinya disusun dengan sistematika tertentu, baik berdasarkan
urutan huruf hijaiyyah (lafal) atau tema
(makna)[1]
Kridalaksana menyatakan
bahwa kamus adalah buku referensi yang memuat daftar kata atau gabungan kata
dengan keterangan mengenai berbagai segi maknanya dan penggunaannya dalam suatu
bahasa, biasanya disusun menurut abjad[2]
Pada bab ini, penulis
menambahkan biografi singkat tokoh-tokoh leksikologi Arab, pemikiran dan
karya-karya mereka.
1. Khalil bin Ahmad
Al-Farahidi
Nama lengkapnya, Abdurrahman Khalil
bin Ahmad bin Amr bin Tamim Al-Farahidi Al-Bashri (100-170 H./718-786 M).
Khalil asli berkebangsaan Arab, lahir di desa Azad, Oman. Akan tetapi ia tumbuh
besar dan belajar ilmu-ilmu agama di kota Bashrah, Irak. Dalam beberapa buku,
Khalil lebih dikenal dengan sebutan Al-Farahidi. Gelar ini disnisbatkan
kepada kabilah nenek moyangnya, yaitu Farhud, salah satu kabilah di desa Azad,
Oman.
Dalam menempuh pendidikan, Khalil
selalu ikut di dalam majelis ilmu yang diasuh oleh Isa bin Amr dan Abu Amr bin
Al-‘Alla’. Gurunya, Isa bin Amr’, merupakan imam di bidang ilmu bahasa
Arab dan ilmu qiraat. Beliau menulis dua buah buku terkenal yang berjudul Al-Jami’
dan Al-Ikmal. Sedangkan Abu Amr bin Al-‘Alla’ adalah guru besar di
bidang ilmu bahasa Arab yang selalu menjadi panutan Khalil dalam meneliti
tatabahasa dan fenomena para penutur bahasa Arab.
Khalil sering mengambil riwayat qiraat
dari Imam Ayyub dan Ashim. Sedangkan murid-murid Khalil yang selalu mengambil
riwayat darinya adalah Sibawaihin, Al-‘Ashma’i dan Nadhar bin Syumail. Ada satu
nama lagi yang sering dijadikan rujukan dalam periwayatan Khalil, yaitu
Al-Laits bin Al-Mudzaffar bin Nasr bin Sayyar. Padahal, Al-Laits adalah salah
satu murid Khalil. Di dalam kamus Al-‘Ain, nama Al-Laits sering disebut-sebut oleh Khalil dalam berbagai
periwayatan. Dalam periwayatan, hal ini merupakan kasus yang lumrah dimana
seorang guru mengambil riwayat dari muridnya sendiri. Ibnu Mu’taz berkata,
“Riwayat-riwayat yang bersambung kepada Khalil, banyak terputus pada Al-Laits”.
Pernyataan ini menunjukkan betapa banyaknya riwayat Khalil yang berasal dari
Al-Laits.
Banyaknya riwayat Al-Laits dalam kamus
Al-‘Ain jelas menimbulkan kontroversi di kalangan ulama bahasa tentang:
“Siapa sebenarnya penyusun kamus Al-‘Ain tersebut?”. Paling tidak, ada
lima pendapat seputar kontroversi penyusun Al-’Ain.
Pertama, Khalil belum pernah menyusun kamus Al-‘Ain
dan kamus itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan nama Khalil. Pendapat
ini dikemukakan oleh Abu Hatim Al-Sijistani (w. 862 M.) yang beralasan bahwa
kamus Al-‘Ain tidak memiliki sanad yang bersambung kepada Khalil dan
para ulama bahasa di Basrah, tempat dimana Khalil menetap. Buktinya, ulama
Basrah tidak mengambil sanad dari Khalil dalam karya-karya mereka.
Kedua, Khalil adalah orang yang memiliki gagasan untuk
menulis kamus Al-‘Ain, akan tetapi ia tidak ikut serta dalam penulisan
naskah kamus Al-‘Ain. Pendapat ini disampaikan oleh Al-Azhari yang
berkeyakinan bahwa Al-Laits bin Al-Mudzaffar adalah murid Khalil yang berperan
besar dalam penyusunan kamus Al-‘Ain, lalu ia menisbatkan nama penyusun
kamus Al-‘Ain kepada Khalil, gurunya sendiri.
Ketiga, Khalil menyusun sebagian isi dari kamus Al-‘Ain
dan sebagian yang lain diteruskan oleh Al-Laits bin Al-Mudzaffar (w. 796 M.).
Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Al-Tayyib Al-Lughawi, Abu Bakar Al-Zubaidi
dan Yusuf Al-‘Ish. Mereka berargumen, bahwa kamus Al-‘Ain memuat hikayat tentang-tokoh-tokoh mutaakhirin
seperti Abu Ubaidah dan Ibnul ‘Arabi (767-845). Hal ini memperkuat bahwa bagian
akhir kamus Al-‘Ain ditulis oleh Al-Laits, murid Khalil. Kamus Al-‘Ain
juga membahas makna-makna ilmu nahwu yang beraliran madzhab Kufah seperti
penyebutan makharij al-huruf, hukum taqdim-ta’khir, dan
sebagainya. Bukti ini jelas berseberangan dengan madzhab Basrah. Padahal Khail
adalah orang Basrah. Selain itu, di dalam kamus Al-‘Ain terdapat
beberapa kesalahan yang tidak mungkin berasal dari Khalil sebagai seorang pakar
bahasa. Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa kamus Al-‘Ain, hanya
sebagian isinya yang ditulis oleh Khalil. Selebihnya, diteruskan oleh muridnya,
Al-Laits.
Keempat, Penyusun kamus Al-‘Ain adalah Khalil,
akan tetapi karya Khalil tersebut lenyap terbakar. Akhirnya, Al-Laits dan
beberapa pakar bahasa berusaha menulis ulang kamus Al-‘Ain. Pendapat ini
hanya berasal dari satu orang, yaitu Ibnul Mu’taz (861-909 H.) dalam sebuah
riwayatnya, ia bercerita, bahwa konon Khalil pernah berkunjung ke rumah
Al-Laits di Khurasan, lalu ia memberikan kamus Al-‘Ain kepada Al-Laits.
Akan tetapi, suatu hari, istri Al-Laits membakar naskah kamus Al-‘Ain
karena marah kepada Al-Laits, suaminya yang dikiranya “selingkuh” dengan
mencintai pembantu perempuannya.
Kelima, Kamus Al-‘Ain jelas ditulis dan disusun oleh Khalil.
Pendapat ini ditegaskan oleh Ibnu Duraid dan Ibnu Faris. Menurut keduanya,
ketidak tahuan murid-murid Khalil dan juga para ulama Basrah dengan karya
gurunya berupa kamus Al-‘Ain, tidak bisa membatalkan bahwa kamus itu
adalah karya Khalil, sebab hal itu bisa saja terjadi. Demikian juga tentang
adanya pandangan ulama Kufah yang berseberangan dengan ulama Basrah dan turut
dimuat di dalam kamus Al-‘Ain, bukan berarti menjadi bukti bahwa kamus Al-‘Ain
bukan karya Khalil, sebab bisa hal itu justru menunjukkan objektifitas Khalil
sebagai seorang ilmuan, atau hal itu sengaja dimasukkan oleh generasi sesudah
Khalil untuk menegaskan kekuatan hujjah ulama Kufah yang saat itu kontra
dengan Basrah. Juga, tentang adanya hikayat dan nama-nama seputar ulama mutaakhirin
di kamus Al-‘Ain seperti Al-Kurra’ (w. 921 H.) Al-Zajjaj (855-923), Abu
Ubaidah (728-824), Ibnul A’rabi (767-845), bukan berarti data-data itu
membatalkan penisbatan kamus Al-‘Ain kepada Khalil sebagai penyusunnya,
sebab bisa saja nama-nama hanya tercantum di dalam hawanis (catatan
kaki) kamus Al-‘Ain, bukan isinya. Nama-nama ulama mutaakhirin itu
sengaja dimasukkan ke dalam bagian kamus Al-‘Ain oleh generasi pasca
Khalil yang sangat intens melakukan editing, revisi dan syarah
terhadap karya monumental tersebut.
Sedangkan pendapat yang menunjukkan
adanya bukti-bukti kesalahan (tashif) dan perubahan di dalam kamus Al-‘Ain,
jelas tidak bisa diterima, sebab Khalil adalah sosok tokoh bahasa yang amat teliti
dalam hal penelitian dan penulisan karya ilmiah. Sedangkan pendapat Ibnul
Mu’yaz tentang terbakarnya kamus Al-‘Ain akibat ulah isteri Al-Laits,
hnaya merupakan bagian dari kisah cinta dan roman picisan palsu yang sengaja
dihembuskan oleh pihak-pihak yang kontra dengan Khalil, Al-Laits atau
tokoh-tokoh leksikon Arab lainnya untuk menjatuhkan kredibilitas kamus-kamus
bahasa Arab.
Terlepas dari kontroversi di atas,
yang jelas, mayoritas ulama tetap mengakui bahwa kamus Al-‘Ain adalah
mahakarya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dan kamus pertama bahasa Arab itu
memiliki peran besar dalam “menggairahkan” para pakar bahasa Arab untuk
berlomba-lomba menyusun kamus bahasa yang inovatif dan kreatif untuk
melestarikan eksistensi bahasa Arab yang
fushah.
Sementara itu, murid Khalil yang
sering mengambil riwayat adalah Sibawaih, salah satu peletak kaidah-kaidah ilmu
nahwu dalam dalam karyanya yang amat terkenal, Al-Kitab. Bahkan, setiah
kali Sibawaihin menulis dalam bukunya, Al-Kitab, dengan kalimat: “Aku
bertanya kepadanya” atau “ Ia berkata”, maka kata ganti yang dimaksud dalam
pernyataan semacam itu, tidak lain adalah Khalil, gurunya sendiri.
Kamus bahasa Arab
pertama yang menggunakan sistematika tertentu adalah Kamus Al-‘Ain karya Khalil
bin Ahmad Al-Farahidy (718-768 M) dari Bashrah. Beliau menyusun kamusnya dengan
sistematika Al-Shawty (pencarian kata berdasarkan sistem makharjul huruf/output
tempat keluarnya huruf-huruf Arab)[3]
Khalil adalah seorang yang dikarunia
kecerdasan otak dan daya kretivitas yang tinggi oleh Allah SWT. Ia adalah
pecinta ilmu yang sejati. Terbukti, ia gemar berkelana dari satu desa ke desa
lain yang jaraknya berjauhan hanya untuk mengambil periwayatan dari penduduk
desa demi memahami satu makna kata. Teori-teorinya banyak terbentuk dari hasil
penelitian ilmiah di lapangan. Khalil rela bergaul dengan penduduk Arab badui
di pedalaman untuk memahami makna bahasa. Hidupnya habis demi perkembangan ilmu
bahasa dan sastra Arab.
Pada akhirnya, Khalil pun tumbuh
menjadi salah satu ulama terbesar di bidang ilmu bahasa Arab. Ia adalah ulama
yang menguasai ilmu nahwu (sintaks), bahasa (linguistik) dan sastra Arab.
Selain itu, ia juga mumpuni di bidang ilmu matematika, ilmu syariat (hukum
Islam) dan seni musik. Melalui karyanya yang berjudul Mu’jam Al-‘Ain,
Khalil dikenal sebagai pe;etak dasar-dasar leksikologi, sehingga tak berlebihan
jika Khalil disebut sebagai “Bapak Leksikolog Arab”. Lebih dari itu, Khalil
juga pantas disebut sebagai orang pertama yang berhasil menyusun kaidah-kaidah
ilmu Aruudh, yaitu ilmu untuk mempelajari sajak dari bait syair. Melalui
karyanya yang berjudul Kitab Al-Aruudh, Khalil menyusun ritme dan wazan qafiyah
untuk karya-karya sastra bahasa Arab.[4]
Beberapa karyanya yang hingga kiini
dapat diakses, antara lain: An Nuqth wa Asy-Syakl (Titik dan Harakat), An-Nigham
(kumpulan lagu), Al-Aruudh (ilmu sajak), Syawahid (kumpulan
syair), Al-Jamal dan Al-‘Iqaa’.
2. Abu Amr Al-Syaibani
Abu Amr Ishaq bin Murar Al-Syaibani
(110-206 H/728-821 M) lahir di desa Ramadah, dekat dengan kota Kufah. Ibunya
berasal dari suku Nabtiyah dan nasabnya bersambung ke Bani Syaiban. Dari Kufah,
Abu Amr pindah ke kota Baghdad dan menetap di sana hingga meninggal dunia.
Abu Amr adalah ulama yang paling
memahami dialek dan bahasa bangsa Arab. Bahkan, ia dikenal sebagai ulama yang
paling paham tentang kalimat-kalimat asing (gharib-nawadir). Sejak masa
remaja, ia gemar belajar ilmu bahasa Arab bersama kawan-kawannya di seluruh
pelosok kota Damaskus. Abu Amr rela masuk ke pelosok desa dan bergaul dengan
orang-orang badui di pedalaman untuk memahami dialek dan bahasa Arab yang
mereka ucapkan. Akhirnya, ia pun menulis beberapa buku yang memuat koleksi
(baca; diwan) bahasa dan dialek orang Kufah dan Baghdad sekaligus.
Guru Abu Amr Al-Syaibani yang paling
terkenal adalah Al-Mufaddhal Al-Dhabi dan Al-Muhaddits Rukn Al-Syami. Sedangkan
murid-murid Abu Amr, antara lain: Amr (putranya sendiri, Imam Ahmad bin Hambal,
Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam.
Masa hidup Abu Amr dihabiskannya untuk
mencari riwayat syair-syair kuno di pelosok desa dan mencari data-data
kebahasaan untuk mendukung penelitiannya. Abu Amr berhasil menyusun lebih dari
80 buah kitab diwan (kumpulan syair) dari berbagai kabilah yang telah
dihampirinya. Hampir setiap kabilah telah dibuatkan diwan yang memuat syair-syair
yang berasal dari kabilah tersebut. Prestasi ini yang membuat Abu Amr dikenal
sebagai sosok ilmuwan dan sastrawan yang peduli terhadap pengembangan dan
pelestarian bahasa Arab.
Abu Amr Al-Syaibani juga tercatat
sebagai penyusun kamus tematik pertama dalam sejarah leksikologi Arab. Beberapa
karyanya antara lain, Kamus Al-Jim, Al-Khail, Al-Lughaat, Al-Nawadir
Al-Kabir, Gharib Al-Hadis, Al-Nahlah, Al-Ibil, Khalq Al-Insan. Dari sekian
judul bukunya, Kitab Al-Huruut fi Al-Lughah atau yang dikenal Kitab
Al-Jim adalah kamus yang memiliki pengaruh besar terhadap pengembangan
leksikologi bahasa Arab.
Kamus Al-Jim adalah kamus makna
yang disusun secara tematik. Pemilihan huruf jim sebagai judul kamus,
telah mengecohkan para ulama lain. Mereka mengira urutan huruf yang disusun di
dalam kamus Al-Jim berawal dari huruf Jim seperti kamus Al-Ain
(Khalil) yang dimulai dari huruf ain. Padahal, kamus Al-Jim
dimulai dari huruf Alif hingga Ya sesuai dengan urutan huruf
hijaiyah.
3. Abu Mansyur Al-Azhari
Al-Harawi
Nama lengkapnya, Abu Mansyur Muhammad
bin Ahmad bin Al-Azhari Al-Harawi (282-370 H/895-981 M). Diberi gelar
“Al-Harawi”, karena ia lahir dan wafat di desa Hirah, Khurasan. Sedangkan nama
populernya adalah Al-Azhari. Nama ini dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama
Al-Azhar, seorang ulama fiqih terkemuka di Khurasan. Abu Mansyur Al-Azhari
tumbuh besar di daerah Qaramithah, sebuah kawasan di Hawazin dimana
penduduk-nya selalu berkomunikasi dengan bahasa Arab fushah.[5]
Nampaknya, sosial masyarakat di
sekitar Abu mansyur Al-Azhari yang selalu menjunjung tinggi bahasa Arab Fushah
dan menolak intervensi bahasa Arab amiyah (pasaran), telah mempengaruhi
jiwa Al-Azhari sehingga ia mampu berbahasa Arab dengan fasih dan memiliki rasa
fanatisme tinggi terhadap bahasa Arab fushah. Oleh sebab itu, kamusnya
ia beri judul Tahdzib Al-Lughah yang berarti “usaha untuk membenarkan
atau mengembalikan kemurnian bahasa Arab”. Pada bagian mukaddimah, ia
mengatakan: “Kuberi nama kamusku dengan Tahdzib Al-Lughah, karena aku
bermaksud untuk mengumpulkan semua bahasa Arab yang pernah dihimpun sebelum ini
dan menghapus semua kata-kata yang sengaja dimasukkan ke dalam bahasa Arab. Aku
akan mengembalikan bahasa Arab kepada struktur aslinya yang benar (fushah).
Selain itu, kamus ini aku jaga dengan sekuat tenaga agar tidak terjadi
kesalahan tulis (tashif). Aku pun tidak ingin memperpanjang bacaan dan
memperbanyak materi kata yang tidak diperlukan di dalam sebuah kamus. Di sini,
semua kata/kalimat yang gharib (asing) yang diriwayatkan dari perawi
yang tidak tsiqah (kuat hafalannya), pasti akan kubuang”. [6]
Ibnu Mandzur, penyusun kamus Lisan
Al-Arab, berpendapat, “Untuk kitab-kitab bahasa, belum pernah kutemukan
kitab seindah Tahdzib Al-Lughah karya Al-Azhari dan selengkap kamus Al-Muhkam
karya Ibnu Sidah. Sedangkan kamus-kamus selain itu hanya kamus kelas dua”.
Kamus karya Al-Azhari berjudul Tahdzib Al-Lughah. Menurut
Al-Zamakhsyari, kamus itu disusun oleh Al-Azhari setelah ia berusia 70 tahun.
Karya Al-Azhari adalah kamus yang menggunakan sistematika fonetik (nidzam
al-sawti) seperti kamus Al-‘Ain karya Khalil. Padahal, ia menafikan
kamus Al-‘Ain sebagai karya Khalil karena menurutnya kamus Al-‘Ain
banyak ditulis dan memakai riwayat dari Al-Laits, bukan dari murni karya
Khalil.
Sekalipun kamus Tahdzib Al-Lughah lebih orisinil dari karya Al-Azhari, namun
kamus tersebut tidak memberi kontribusi dan pengaruh besar terhadap
pengembangan ilmu leksikologi. Mengingat, kamus tersebut dianggap “ikut-ikutan”
dengan sistematika fonetik yang dirilis Khalil. Selain itu, tak satu pun ulama
yang memakai kamus Tahdzib Al-Lughah sebagai objek kajian, kecuali Abdul Karim bin
Athoillah Al-Iskandari yang menyusun ringkasan kamus Tahdzib Al-Lughah
dengan judul Mukhtasar Al-Tahdzib. Walaupun demikian, makna-makna
leksikal dalam kamus Tahdzib Al-Lughah tetap dijadikan rujukan oleh para
generasi ulama sesudah Al-Azhari. Misalnya, Al-Shaghani (1181-1252 M) dalam
karyanya, Al-‘Ubab, kemudian Al-Razi (w. 1278 M) dalam kamusnya, Mukhtar
Al-Shihah, lalu Ibnu Mandzur (1232-1311 M) melalui kamusnya, Lisan
Al-‘Arab, dan beberapa ulama lain yang mengaku telah menjadikan kamus Tahdzib
Al-Lughah sebagai referensi dalam memahami makna leksikal.
Naskah asli kamus Tahdzib Al-Lughah
sebanyak 18 naskah. Naskah terbesar berada di Perpustakaan Arif di kota Madinah
yang ditulis oleh seorang khattath bernama Yaqut Al-Hamawi pada tahun
616 H. Kamus Tahdzib Al-Lughah, pertama kali dicetak pada tahun 1964 di
Mesir setelah melalui proses editing yang dilakukan para ulama bahasa.
4. Ismail bin Qasim Al-Qali
Al-Baghdadi
Ismail bin Qasim bin Harun (901-967 M)
lahir dan tumbuh besar di Manazjarad yang terletak di daerah Furat Timur, dekat
Bahirah, Baghdad. Gelar Al-Qali di belakang namanya, karena ia sering
bergaul dengan kabilah bernama Qali Qali di Baghdad. Sedangkan julukan Al-Baghdadi
ditujukan oleh penduduk Andalusia kepada Ismail bin Qasim setelah ia Ismail
tiba dan menetap disana.
Karya Ismail Al-Baghdadi bernama kamus
Al-Bari’, kamus pertama yang muncul di daerah Andalusia. Selain itu, ia
juga menulis kitab berjudul Al-Nawadir, Al-Maqsud wa Al-Mamdud wa Al-Mahmuz,
semuanya tentang ilmu tatabahasa Arab. Ismail Al-Baghdadi merupakan salah satu
dari murid Ibnu Duraid, penulis kamus Al-Jamharah. Pada awalnya, Ismail
menyusun kamus Al-Bari’ dengan menggunakan sistematika alfabetis khusus
mengikuti pola gurunya, Ibnu Duraid. Akan tetapi, ia merasa bahwa sistem
fonetik ala Khalil tetap dibutuhkan dalam penyusunan kamus-kamus bahasa Arab di
era kodifikasi bahasa. Selain itu, Ismail mengakui bahwa pengetahuannya tentang
sistem alfabetis khusus ala Ibnu Duraid masih minim dan karya Ibnu Duraid belum
banyak diketahui dan diakui oleh para pakar bahasa lainnya. Dengan alasan ini,
Ismail Al-Baghdadi bersikukuh kembali mengikuti sistem fonetik, walaupun sistem
itu lebih sulit bagi pengguna kamus di Andalusia.
Pilihan Ismail Al-Baghdadi terhadap
sistem fonetik dalam kamusnya, Al-Bari’, jelas kalah tenar dengan kamus
pendahulunya, Al-‘Ain. Hal itu yang membuat tidak banyak para pakar
bahasa yang serius meneliti kamus Al-Bari’ tersebut, kecuali murid
Ismail Al-Baghdadi sendiri, yaitu Abu Bakar Al-Zabaidi melalui karyanya, Al-Mustadrak
min Al-Ziyadah fi Kitab Al-Bari’ ala Kitab Al-‘Ain (Penjelasan tentang
tambahan kamus Al-Bari’ atas kamus Al-‘Ain).
5. Ibnu Duraid
Nama lengkapnya Muhammad bin Al-Hasan
bin Duraid Al-Azdi (321-233 H./838-933 M). Ibnu Duraid lahir di Basrah, lalu
pindah ke Oman dan menetap disana selama 12 tahun, kemudian ia kembali lagi ke
Basrah, Irak. Ibnu Duraid dikenal sebagai pakar bahasa dan sastra Arab. Ia gemar
mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menuntut ilmu bahasa dan
memperkuat tesisnya. Ia pernah berkelana ke daerah-daerah pinggiran di Persia.
Pengembaraannya di negeri Iran tercatat dalam Diwan Faris karya Alu Mikal.
Namun, pada akhirnya ia lebih memilih kembali ke Baghdad pada masa Dinasti
Abbassiyah yang dipimpin Al-Muqtadir. Ibnu Duraid termasuk ilmuwan yang
dibiayai oleh negara. Setiap bulan, ia mendapat gaji sebesar 50 Dinar atas
jasa-jasanya di bidang pengembangan ilmu bahasa. Seluruh hidupnya, ia
pergunakan untuk menghasilkan karya-karya ilmiah yang berperan besar dalam
pengembangan ilmu tatabahasa yang saat itu tumbuh pesat di Basrah, Irak. Ibnu
Duraid meninggal di Baghdad di usia 95 tahun.
Ibnu Duraid dikenal sebagai sosok
ulama yang ulet, cerdas dan kuat hafalannya. Ia berasil mencetak murid-murid
yang spesialis di bidang bahasa dan sastra. Di antara muridnya yang terkenal,
antara lain: Abu Hatim A-Sijistani (w. 862 M), Al-‘Utba (w. 869 M), Al-Sirafi
(897-979 M), Abu Faraj Al-Isfahani (893-?), Ibnu Khalawih (w. 980 M), dan
Al-Zajjaj (855-923 M).
Selain kamusnya, Al-Jamharah
atau Jamharah Al-Lughah sebanyak tiga (jilid), karya-karya lain Ibnu
Duraid adalah Al-Isytiqaq (ilmu tentang nasab), Al-Maqshur wa
Al-Mamdud (ilmu sharaf), Al-Mujtaba, Taqwim Al-Lisan, Dakhair Al-Hikmah,
Shifah Al-Siraj wa Al-Lijam, Al-Malahin, Al-Sahab wa Al-Ghaits, Adab Al-Katib,
Al-Amaly, Al-Wisyah, Zuwar Al-‘Arab, dan Al-Lughaat.
Kamus Al-Jamharah karya Ibnu
Duraid merupakan kamus pertama yang menggunakan sistem alfabetis khusus. Ia
berani tampil beda dengan mengesampingkan model-model kamus fonetik yang kala
itu berkiblat pada kamus Al-‘Ain karya Khalil. Namun, materi-materi kata
dalam kamusnya Ibnu Duraid banyak mengambil dari kamus Al-‘Ain. Bahkan,
dalam hal penjelasan makna (syarah), gaya bahasa (uslub) dan
argumentasi (istisyhad), antara
kamus Al-Jamharah dan Al-‘Ain dapat dikatakan hampir sama. Hal
ini yang kemudian menuai kritik dari beberapa pihak yang menuduh Ibnu Duraid
bukan sebagai leksikolog, sebab ia dianggap hanya bisa mengganti kamus Al-‘Ain
dengan sampul (baca: sistematika) yang berbeda, sementara kandungannya tetap
bermuara dari kamus Al-‘Ain. Salah satu kritikus bernama Nafthawih
(858-935) menyatakan dalam syairnya [7]:
ابن دريد بقده و
فيه عيّ و شره
و يدّعي من حمقه وضع
كتابه الجمهره
وهو كتاب العين إلا أنه
قد غيّره
Ibnu Duraid
melebarkannya (Al-Ain)
Dalam karyanya, ia
gagal dan jahat
Ia
mengaku, dengan kebodohannya,
Bahwa
ia telah menulis kitabnya, Al-Jamharah
Padahal,
itu adalah kitab Al-‘Ain, hanya saja
Ia
telah mengubahnya
Kritik pedas yang
dilontarkan Nafthawih itu, telah dijawab oleh Ibnu Duraid melalui syairnya[8]:
لكان ذاك الوحي سخطا عليه لو
أنزل النحو على نقطويه
Andaikan nahwu
diturunkan kepada Nafthawih
Pastilah wahyu itu
merupakan murka baginya
Kamus Al-Jamharah
dapat dikatakan kurang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan leksikologi
bahasa Arab. Hal itu bisa dimaklumi karena Ibnu Duraid masih berada di bawah
bayang-bayang Khalil dalam hal penyusunan kamus. Apalagi, sistematika urutan
Alfabetis Hijaiyah yang diusung Ibnu Duraid hanya mengekor pada hasil kreasi
Nashr bin Ashim yang sebelumnya telah menyusun huruf hujaiyah secara berurutan
dari huruf Alif hingga Ya’. Namun demikian, ada saja para pakar
bahasa yang serius melakukan penelitian dengan mengambil kamus Al-Jamharah
sebagai objek riset.
Beberapa hasil
penelitian terhadap kamus Al-Jamharah, antara lain: Faait Al-Jamharah
(kekurangan kamus Al-Jamharah) karya Abu Amr Al-Zahid (w. 345 H), Jawharah
Al-Jamharah (intisari kamus Al-Jamharah) karya Al-Shahib bin Ubbad
(938-995 M), Nidzam Al-Jamharah (sistematika Al-Jamharah) yang
ditulis oleh Yahya bin Mu’thi bin Abdunnur
Al-Zawawi (1169-1231 M), Mukhtasar Al-Jamharah (ringkasan kamus Al-Jamharah)
karya Syarifuddin Mahmud bin Nashrullah Al-Anshari (1154-1232 H) dan Syarah
Syawahid Al-Jamharah (penjelasan dalil-dalil kamus Al-Jamharah)
karya Abu Al-‘Alla’ Al-Ma’ri (973-1057). Sayangnya, karya-karya ini telah
lenyap semuanya dan tidak sampai dicetak hingga kini.
6. Ibnu Faris Al-Razi
Abul Husain Ahmad bin Faris bin
Zakaria bin Hubaib Al-Qazwini Al-Razi (329-395 H/941-1004 M), demikian nama
lengkap Ibnu Faris. Ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa nama aslinya
adalah Ahmad bin Zakaria bin Faris. Namun, pendapat ini disangkal oleh Yaqut. Menurutnya,
pendapat itu adalah syadz (menyimpang), sebab ia sendiri telah berkali-kali ke
tempat kelahiran Ibnu Faris di daerah Ristaq Al-Zahra’, sebuah kampung yang
termasuk bagian dari desa Karsifah dan Jiyanabadz di wilayah Qazwin. Ternyata,
semua penduduk disana tetap mengenalnya dengan nama Ibnu Faris. [9]
Semua ulama sepakat, bahwa Ibnu Faris
meninggal dunia di kota Rai dan makamnya berhadapan dengan Abul Hasan Ali bin
Abdul Aziz Al-Jurjani. Sedangkan tahun wafatnya Ibnu Faris, masih
diperselisihkan. Yaqut berpendapat, Ibnu Faris wafat pada tahun 360 H.
Sedangkan Ibnul Jauzi dalam Al-Muntadzam, menyebutkan bahwa ia wafat
pada tahun 369 H. Pendapat yang sama disampaikan Ibnul Atsir Wafayat,
bahwa tahun wafat Ibnu faris adalah 369 H. Ibnu Khalikan, dalam Al-Muhammadiyah,
menyebut tahun 375 H. Sedangkan Ibnu Katsir dalam Al-Ta’rif menegaskan
bahwa Ibnu Faris wafat di tahun 390 H. [10]
Sebagaimana ilmuwan lainnya, Ibnu
Faris juga gemar berkelana mencari ilmu. Ia pernah belajar hadis di
majelis-majelis ilmu hadis di kota Baghdad. Akan tetapi, tempat paling lama
yang didiami oleh Ibnu Faris adalah kota Hamzan sebelum akhirnya ia pindah ke
kota Rai dan meninggal dunia di sana.
Ibnu Faris pernah berkelana ke
Baghdad untuk mencari hadits, dan menetap di Ray selama sisa hidupnya. Di sini
ia memiliki hubungan yang akrab dengan Al-Shachib bin ‘Ubbad yang menjadi
muridnya. Tentang gurunya itu Al-Shachib berkata: “Guru kami Abu al-Husayn
adalah salah seorang yang bagus karyanya dan aman dari kesalahan”. Dari
hubungan ini lahirlah karyanya dalam bidang Fiqh al-Lughah yang diberi nama
Al-Shachibiy, dan dalam pendahuluannya Ibnu Faris berkata: “Sesungguhnya
kunamai dengan nama ini (Al-Shachibiy), adalah karena ketika aku menulisnya aku
menyimpannya di dalam lemari Al-Shachib yang mulia yaitu tempat yang cocok
untuk mengumpulkan sesuatu – Allah memanjangkan lapangan ilmu, sastra, kebaikan
dan keadilan dengan memanjangkan umurnya – sehingga menjadi bagus dan indah
dengan adanya buku tersebut”[11].
Guru yang paling berpengaruh dalam membentuk
kepribadian Ibnu Faris adalah ayahnya sendiri, Faris bin Zakaria. Ayah beliau
adalah seorang faqih, ahli bahasa dan juga sastrawan. Ibnu Faris banyak
belajar fiqih madzhab Syafi’i dari ayahnya dan ia pun menjadi penganut madzhab
Syafi’iyah, walaupun pada akhirnya ia berpindah ke madzhab Malikiyah ketika ia
tinggal di kota Rai. Ketika ia ditanya tentang kepindahannya ke madzhab
Malikiyah, Ibnu Faris menjawab, “Aku
hanya ingin melestarikan nama besar dan kemuliaan Imam Maliki di Rai, tempat
yang sejak awal telah bermadzab Malikiyah”.[12]
Selain sang ayah, guru-guru Ibnu Faris
lainnya adalah Abu Bakar Ahmad bin Hasan Al-Khatib, guru besar di bidang ilmu
nahwu yang beraliran Kufah. Ibnu Faris belajar tentang isi kamus Al-‘Ain
karya Khalil kepada Abul Hasan Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qatthan. Bahkan,
dalam kitabnya yang berjudul Al-Shahiby, Ibnu Faris sering mengambil
riwayat dari Al-Qatthan. Di bidang hadis, Ibnu Faris lebih sering belajar
kepada Abul Hasan Ali bin Abdul Aziz. Guru-guru lainnya, adalah Abu Bakar
Muhammad bin Ahmad Al-Isfahani, Ali bin Ahmad Al-Sawi, Abul Qasim Salman bin
Ahmad Al-Thabrani, dan Abu Abdillah Ahmad bin Thahir Al-Munjim.
Murid-murid Ibnu Faris teramat banyak.
Namun, di antara mereka yang terkenal yaitu Badi’ Al-Zaman Al-Hamdzani, Abu
Thalib bin Fakhruddawlah Al-Buwaihy, Al-Shahib Ismail bin ‘Ubbad dan Ali bin
Al-Qasim Al-Muqri.
Ibnu Faris, bukan hanya mumpuni di
bidang leksikologi dan ilmu bahasa saja, namun ia adalah ulama yang memiliki
kemampuan yang lengkap di berbagai bidang. Hal itu dapat dilihat dalam
karya-karya tulisnya yang mencakup berbagai bidang ilmu. Paling tidak, ada 45
buku yang ditulis oleh Ibnu Faris. Di anataranya, Al-Ittiba’ wal Muzawiyah,
Ikhtilaf Nahwiyyin, Akhaqun Nabi, Ushulul Fiqh, Al-Ifrad, Al-Amaly, Amtsilatul
Asja’, Al-Taaj, Al-Intishar li Tsa’lab, Tamam Fashih Al-Kalam, Jami’ Al-Ta’wil,
Hilyatul Fuqaha’, Khalqun Insan, Muqaddimah Al-Faraidh, dan lain-lainnya. [13]
Selain itu, dalam
Wikipedia juga disebutkan karya tulis Ibnu Faris antara lain Ats-Tsalatsah,
Jami' at-Ta`wil, Al-Hajar, Hilyatu al-Fuqaha, Al-Hamasah
al-Muhadditsah, Khalaqa al-Insan, Darat al-'Arab, Dakhair
al-Kalimat, Dzammu al-Khata fi asy-Syi'r, Dzammu al-Ghibah, Ra'i`
ad-Durar wa Raiq az-Zuhur fi Akhbari Khairi al-Basyar, Siratu an-Nabi
, Risalatu az-Zuhri ila 'Abdil
Malik bin Marwan, Asy-Syiyat wa al-Hala, Ash-Shahibi, Kifayatu
al-Muta'allimin fi Ikhtilafi an-Nahwiyyin, Qashashu an-Nahar wa Samaru
al-Lail, Al-Yasykaryat, Maqalat Kalla wa ma ja`a minha fi
Kitabillah, Mukhtashar fi al-Mu`annats wa al-Mudzakkar, Muqaddimah
fi an-Nahwi, Al-Mujmal, Al-Lamat, Gharib I'rab al-Qur'an,
Al-'am wa al-Khal, Futya Faqih al-'Arab, Al-Farq, Al-Faridah
wa al-Jaridah, Al-Lail wa an-Nahar, Ma`khadzu al-'Ilmi, Mukhtaru
al-Alfadz, Masa`il fi al-Lughah, Muqaddimah fi al-Faraidh, An-Nairuz,
Na'tu asy-Syir au Naqdu asy-Syi'r[14].
Karya terbesar Ibnu Faris adalah kamus
Maqayis Al-Lughah dan kamus Al-Mujmal. Kedua buku ini memberi
andil besar dalam perkembangan leksikologi bahasa Arab. Melalui karyanya, Ibnu
Faris berusaha menyangkal asas taqlibul kalimah ala Khalil dan
digantinya dengan teori Al-Ushul wa Al-Maqayis yang kemudian dikenal
oleh para ahli bahasa Arab dengan istilah Al-Isytiqaq Al-Akbar’ (high
derivation). Teori berfungsi untuk mengungkap tabir makna asli melalui
kata-kata yang memiliki makna yang sama, dan itu bisa diketahui dari derivasi
akar kata. Dengan kata lain, kumpulan kata yang berasal dari ushul (akar
kata) yang sama, sering memiliki miqyas (ukuran) makna yang hampir sama.
Misalnya, sebuah akar kata yang memiliki derivasi terdiri (م ل ك)، (م ك ل)، (ل ك م)، (ك ل م),
semuanya musta’mal (terpakai), kecuali (ل
م ك) yang muhmal (diabaikan) karena tak memiliki makna. Dari
kelima kata yang berderivasi tersebut, pada dasarnya memiliki makna yang hampir
sama, yaitu mengandung makna (شدة = sangat, kuat). Kata
الكًلْم digunakan untuk sangat dalam, kata الكُلام berarti tanah yang amat keras, kata كمل diartikan sempurna karena ia sangan
lengkap, dan seterusnya.
Ibnu Faris juga menolak sistematika
penyusunan kata dalam kamus yang didasarkan istilah bab untuk setiap
huruf. Ia lebih senang menggunakan istilah kitab sebagai ganti dari bab.
Temuan-temuan baru yang dikemukakan
Ibnu Faris di atas, membuat para pakar bahasa mengakui kredibilitas dan
ketelitian Ibnu Faris dalam memahami bahasa Arab. Dengan munculnya teori Al-Ushul
wa Al-Maqayis, tehnik pencarian makna kata dengan asas taqlibul-kalimah
yang biasa dipakai dalam kamus-kamus fonetik, mulai ditinggalkan, sehingga
munculnya kamus karya Ibnu Faris ini sanggup mempertegas keberadaan sistem
alfabetis khusus yang sebelumnya telah diperkenalkan Ibnu Duraid, tetapi tidak
berhasil mendokrak popularitas sistem alfabetis untuk menyaingi sistem fonetik.
7. Ibnu Jinni
Nama lengkap Ibnu Jinni adalah Abul
Fath Utsman bin Jinni Al-Mushily (320-390 H/932-1001 M). Ia adalah ulama
terkenal di bidang ilmu nahwu dan sastra. Masa kecilnya dihabiskan di kota
Mosul, Irak. Konon, ayahnya bekerja sebagai pembantu setia seorang hakim di
Mosul bernama Sulaiman bin Fahd Al-Azdi. Sekalipun demikian, status sosial itu
tidak menyurutkan Ibnu Jinni untuk menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan
seperti anak-anak lainnya.
Sejak kecil, ia telah dianugerahi ghirah
ilmiah atau semangat kuat untuk belajar dari para syekh yang ada di daerah
kelahirannya. Hampir semua halaqah (majelis taklim) telah dihadiri Ibnu
Jinni untuk menuntut ilmu dari para pengasuh dan syekh yang ahli di bidangnya
masing-masing. Di usiannya yang masih belia, 17 tahun, ia telah menguasai ilmu
sharaf. Hingga, Ibnu Jinni berkenalan dengan seorang syekh bernama Abu Ali
Al-Farisi yang dikenal sebagai pakar ilmu bahasa dan nahwu di zamannya. Sejak
itu, Ibnu Jinni hanya menetapkan pilihannya untuk hanya belajar kepada Abu Ali
Al-Farisi dan meninggalkan halaqah lainnya. Selama 40 tahun lamanya,
Ibnu Jinni menjadi murid setia Abu Ali Al-Farisi hingga ia mewarisi semua ilmu
dari gurunya.
Ibnu Jinni dan gurunya pindah ke kota
Halb, ibukota Bani Hamdan. Di sana, mereka tinggal selama 5 tahun dan mendiri
mejelis taklim yang dihadiri para ulama lainnya. Di kota itu pula, Ibnu Jinni
dan gurunya berkenalan akrab dengan Al-Mutabbi, salah satu pakar di bidang
bahasa dan sastra. Mereka saling bertukar pikiran tentang masalah-masalah
tatabahasa Arab. Kemudian, Ibnu Jinni dan gurunya berpindah ke Damaskus, lalu
ke Baghdad untuk melanjutkan misi dakwah dan taklim.
Karya ilmiah yang berhasil ditulis
oleh Ibnu Jinni mencapai 67 buku. Namun, bukunya yang paling populer hingga
kini adalah Al-Khashaish, sebuah buku yang isinya komprehensip meliputi
dasar-dasar ilmu nahwu, kaidah usul fiqh dan nahwu, dan analisis leksikologis
terhadap makna-makna kosakata bahasa Arab. Buku yang terdiri dari 162 bab ini,
pernah ia hadiahkan kepada Sultan Baha’uddin Al-Buwaihi, tepatnya setelah guru
Ibnu Jinni meninggal dunia.
Di bidang fiqh, Ibnu Jinni mengikuti
madzhab Imam Hanafi. Di bidang akidah, ia lebih memilih sebagai pengikut
mu’tazilah dan di bidang ilmu nahwunya condong ke madzhab ulama Basrah.
Beberapa pendapat Ibnu Jinni yang mengundang kontroversi di dalam kitab Khashaish,
antara lain: kritiknya terhadap kukurangan Al-Kitab karya Sibawaih dan
pendapatnya yang menyatakan bahwa ilmu bahasa Arab termasuk akidah Islam. [15]
8. Ismail bin Hammad
Al-Jawhari
Ismail bin Hammad al-Jawhari (w. 393
H/1003 M) berasal dari desa Farab. Sejak kecil, ia telah masuk ke Irak, lalu ia
berkelana ke Hijaz menuju ke pedalaman desa-desa badui untuk mempelajari dialek
bangsa Arab dan syair-syair asli gubangan penduduk desa (badui) yang masih
memiliki tingkat kebahasaan yang fasih dan tidak terkontaminasi pengaruh dialek
dari para pendatang. Setelah lama berkelana, ia kembali ke Khurasan dan menetap
di Naysabur. [16]
Selain dikenal sebagai seorang pakar
bahasa Arab yang kreatif dan leksikolog karena karyanya, kamus Al-Shihah fi
Al-Lughah sebanyak dua jilid, ia juga dikenal sebagai orang yang meninggal
dunia karena “kreatifitas”-nya sendiri. Konon, Al-Jawhari mamanggil penduduk
Naysabur untuk memperkenalkan salah satu karyanya berupa alat untuk terbang.
Kala itu, ia mengikat kedua tangannya dengan kayu berukuran lebar seperti sayap
burung, lalu ia segera menyepak-nyepakkan kedua tangannya layaknya burung yang
akan terbang. Tak lama kemudian, ia berhasil terbang ke angkasa, namun akhirnya
ia terjatuh karena kehabisan tenaga, lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya.[17]
Kamus Al-Shihah sebagai kamus
pertama yang memperkenalkan sistem Al-Qafiyah, jelas mendapatkan
perhatian besar dikalangan ulama. Kontribusi sistem ini, dinilai amat membantu
bagi para sastrawan dalam menyusun maupun memahami sajak dalam syair maupun
prosa bahasa Arab. Sambutan para ulama itu, dibuktikan dengan munculnya
buku-buku lain yang berusaha meneliti kamus Al-Shihah.
Beberapa ulama, ada yang sekedar
menulis buku untuk memberi komentar atau tambahan (ta’liqat) dari kamus Al-Shihah.
Di antaranya, Abu Nu’aim Ali dari Basrah dan Abu Zakaria dari Tibriz. Ada juga
para ulama yang menulis syarah (penjelasan) dari kamus Al-Shihah dengan
beberapa catatan kaki (hasyiyah), misalnya kitab Hawasyi Al-Shihah
karya Abul Qasim Al-Fadl bin Muhammad
(w. 1052 M) dari Basrah, kitab Hasyiyah ‘ala Hawasyi Al-Shihah
karya Ali bin Ja’far Al-Shaqli yang dikenal dengan Ibnul Qattha’ (1041-1121 M),
kitab Al-Tanbih wa Al-Idhah ‘amma waqa’a fi kitab Al-Shihah dan kitab Al-Idhah
fi Hasyiyah Al-Shihah yang keduanya ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah bin
Bari (1106-1187 M) dari Maqdis. Selain itu, ada juga para ulama yang menulis
buku dengan tujuan untuk menyempurnakan kamus Al-Shihah. Di antaranya,
Ahmad Al-Shaghani (kitab Al-Takmilah), Al-Fairuzabadi (Al-Qamus
Al-Muhith wa Al-Qamus Al-Muhit fi ma dzahaba min kalam Al-‘Arab Syamathith).[18]
Sebagai kamus perdana yang mengusung
sistem baru, Al-Qafiyah, kamus Al-Shihah ini juga tidak luput
dari kritikan. Beberapa ulama yang mengkritik pemikiran Al-Jawhari, antara
lain: Jamaluddin Al-Qafthi (1172-1248 M) dalam bukunya Al-Ishlah li ma
waqa’a min al-khilal fi al-Shihah, lalu Ahmad bin Muhammad Al-Nasyaburi (w.
1124) dalam bukunya Qayyid Al-Awabid. Namun, di sisi lain, tidak sedikit
para ulama yang membela pandangan Al-Jawhari dan berusaha menjawab kritikan
yang ditujukan terhadap kamus Al-Shihah. Misalnya, pembelaan Al-Syayuti
(1445-1505) dalam bukunya Al-Karr’ala Ibn Al-Bar, lalu Muhammad bin
Musthafa Al-Dawawidi dalam bukunya Al-Durru Al-Laqith fi Aghlath Qamus
Al-Muhith. Buku terakhir ini menjawab kritikan dan tuduhan Al-Fairuzabadi
terhadap kamus Al-Shihah, sekaligus menjawab dan balik menunjukkan
kesalahan dari semua tuduhan yang ditujukan kepada Al-Jawhari. [19]
Beberapa ulama, ada yang berusaha
membuat ringkasan (ikhtisar) dari kamus Al-Shihah sebagai bentuk
pengakuan dan penghargaan terhadap kamus tersebut. Misalnya, Mahmud bin Ahmad
Al-Zanjani Al-Syafi’i (1177-1258) yang menulis Tahdzib Al-Shihah, lalu
Muhammad bin Hasan (1247-1320) yang lebih dikenal dengan Ibnu Shaigh dari
Damaskus melalui karyanya Mukhtashar Al-Shihah, dan Zainuddin Muhammad
bin Syamsuddin Al-Razi melalui kamusnya yang terkenal hingga sekarang, yaitu Mukhtar
Al-Shihah. [20]
Taufiqurrachman, H.R, Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN Press, 2012
[1] Ahmad Abdul Ghafur Atthar, Muqaddimah Al-Shihah. (Beirut, Dar
Al-Ilm Lil Malayin,1979), hlm 38.
[9] Ahmad bin Faris, Maqayis Al-Lughah (CD Maktabah Syamilah versi 2,
http://www.awu-dam.org), juz 1 hlm
2
[11] Lea Azamb, Studi Tokoh Bahasa Arab: Ibnu
Faris (http://forum-cari-tahu.blogspot.co.id/2009/04/studi-tokoh-bahasa-arab-ibnu-faris.html)
[15] Ibnu Jinni, Al-Khashaish (CD Maktabah Syamilah
versi 2, bagian bithaqah dan An Al-Kitab, http://www.al-waraq.net,
http://mawsoah.net)
[16] Ismail bin Hammad
Al-Jawhari, Al-Shihah fi Al-Lughah (CD Maktabah Syamilah versi 2,
http://www.al-waraq.net) hlm.
Pendahuluan (Bitahaqah An Al-Muaalif)
Mantab ilmunya
BalasHapusMakasih sudah membantu;) sukses selalu kak
BalasHapus